Masa
Herman Willem Daendels
Sejak Belanda jatuh ke
tangan Perancis pada tahun 1795, Belanda diubah namanya menjadi repuplik Bataaf dan diperintah oleh Louis
Napoleon, adik kaisar Napoleon Bonaparte. Di samping itu, pemerintah Perancis
mengkhawatirkan keadaan di Pulau Jawa sebagai daerah jajahan Belanda akan
direbut oleh Inggris yang saat itu tidak berhasil dikuasai oleh Perancis. Oleh
karena itu, pada tanggal 1 Januari 1808 Louis Napoleon mengutus Herman W.
Daendels ke Pulau Jawa.
Daendels menjalankan
pemerintahannya dengan memberantas sistem feodal yang sangat diperkuat oleh
VOC. Untuk mencegah penyalahgunaaan, kekuasaan, serta hak – hak bupati mulai
dibatasi, terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga
rakyat. Baik wajib taam dan wajib kerja hendak dihapuskannya. Hal ini tidak
hanya akan mengurangi pemerasan oleh para
penguasatetapi juga lebih selaras dengan prinsip kebebasan berdagang. Kondisi
pada waktu itu menjadi hambatan pokok bagi pelaksanaan ide – ide bagus
tersebut.
Keadaan yang masih
berlaku zaman VOC ialah bahwa para bupati dan penguasa daerah lainnya masih
memegang peranan dalam perdagangan. Sebagai perantara mereka memperoleh
keuntungan antara lain berupa prosenan kultur, ialah persentase tertentu dari
harga tafsiran penyerahan wajib dan kontingen yang dipungut dari rakyat. Sistem
itu membawa akibat bahwa pasaran bebas tidak berkembang dan tidak muncul suatu
golongan pedagang, suatu unsur sosial yang lazim berperan penting dalam proses
liberalisasi masyarakat feodal atau tertutup.
Faktor penghambat kedua
ialah bahwa dalam struktur feodal itu kedudukan bupati sangat kuat, sehingga
setiap tindakan perubahan tidak dapat berjalan tanpa kerjasama mereka.
Kepemimpinannya berakar kuat dalam masyarakat sehinnga tidak mudah menggeser
kedudukannya, jangankan mengurangi kekuasaan dan wewenangnya.
Faktor ketiga terdapat
dalam tugas pemerintahan Daendels sendiri yang perlu mempertahankan Pulau Jawa
terhadap serangan Inggris sehubungan dengan itu perhubungan di Jawa perlu
dibangun, antara lain pembuatan jalan raya yang menghubungkan daerah – daerah
di Jawa dari Anyer sampai Panarukan, kemudian terkenal sebagai jalan Raya Pos (Grote Postweg). Untuk keperluan
pembangunan raksasa ini dibutuhkan tenaga rakyat, maka dari itu wajib kerja (verplichte diensten) dipertahankan.
Disamping itu wajib penyerahan juga masih berlaku, sehingga pada masa
pemerintahan Daendels sebenarnya sistem tradisional masih berjalan terus.
Sesuai dengan prinsip –
prinsip kebijaksanaannya Daendels membatasi kekuasaan para raja, antara lain
hak mengangkat penguasa daerah diatur kembali, termasuk larangan untuk menjual
belikan jabatan itu. Karena mengadakan pemberontakan maka kesultanan Banten
dihapuskan.
Pada tanggal 15 Januari
1808 Daendels menerima kekuasaan dari Gubernur Jenderal Weise. Daendels
dibebani tugas mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris, karena Inggris
telah menguasai daerah kekuasaan VOC di Sumatera, Ambon, dan Banda.
Sebagai gubernur
jenderal, langkah – langkah yang ditempuh daendels antara lain :
1). Meningkatkan jumlah tentara dengan
jalan mengmbil dari berbagai suku bangsa di Indonesia.
2). Membangun pabrik senjata di Semarang
dan Surabaya.
3). Membangun pangkalan armada di Anyer
dan Ujung Kulon.
4). Membangun jalan raya dari Anyer
hingga Panarukan, sepanjang kurang lebih 1100 KM.
Dengan
dibangunnya jalan Raya Pos diletakkannya prasarana yang sangat penting bagi perkembangan
ekonomi sosial dan politik Jawa, tidak hanya dalam bidang transportaasi tetapi
juga dalam bidang administrasi pemerintahan dan mobilitas sosial.
5). Membangun benteng – benteng
pertahanan.
Dalam rangka mewujudkan
langkah – langkah tersebut Daendels menerapkan system kerja paksa (rodi).
Selain menerapkan kerja paksa Daendels melakukan berbagai usaha untuk
mengumpulkan dana dalam menghadapi Inggris. Langkah tersebut antara lain :
1.
Mengadakan penyerahan hasil bumi (contingenten).
2.
Memaksa rakyat – rakyat menjual hasil
buminya kepada pemerintah Belanda dengan harga murah (verplischte leverantie).
3.
Melaksanakan preanger stelsel, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada rakyat
Priangan untuk menanam kopi.
4.
Menjual tanah – tanah Negara kepada
pihak swasta asing seperti kepada Han Ti Ko seorang pengusaha Cina.
Daendels merupakan
penguasa yang disiplin, tegas, dan kejam, sehingga dikenal sebagai gubernur
jenderal yang bertangan besi. Ia juga dijuluki Tuan Besar Guntur atau Jenderal
Mas Galak. Tindakan Daendels ini di mata orang Belanda sendiri ternyata sangat
dibenci. Daendels ternyata juga menjual tanah milik negara kepada pengusaha
swasta asing, berarti ia telah melanggar Undang – Undang negara. Hal tersebut
mengakibatkan ia dipanggil pulang ke negerinya dan diganti Jenderal Jessen pada
tahun 1811.
Kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Indonesia
Cultuurstelsel (harafiah: Sistem Kultivasi atau
secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budaya) yang
oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa,
adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den
Bosch pada
tahun 1830 yang
mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami
komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila).
Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun
(20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi
bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya
diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van
den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam
komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa
untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan
menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa,
desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari
penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti
dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti
membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain. Sistem tanam paksa
diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan
di Jawa. Pemerintah kolonial
memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis.
Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang
membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda,
sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun
sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan
Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal
kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan
Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau
tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api
nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus. Badan
operasi sistem tanam paksa Nederlandsche
Handel Maatchappij (NHM)
merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras
semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana
kelaparan di Cirebon, Jawa Barat.
Kelaparan juga melanda Jawa Tengah,
tahun 1850. Sistem tanam paksa
yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di
Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk
tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang
dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria
1870.
ATURAN TANAM PAKSA
·
Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar
menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau
seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
·
Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar
menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau
seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
· Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
·
Rakyat yang tidak memiliki tanah
pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah
Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima
tahun.
·
Waktu untuk mengerjakan tanaman pada
tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau
kurang lebih 3 (tiga) bulan
·
Kelebihan hasil produksi pertanian dari
ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
·
Kerusakan atau kerugian sebagai akibat
gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan
terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
·
Penyerahan teknik pelaksanaan aturan
tanam paksa kepada kepala desa
Serangan-serangan dari orang-orang
non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang
terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon. Gejala kelaparan
ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan
eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa. Muncullah orang-orang humanis
maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari bidangsastra muncul Multatuli (Eduard Douwes Dekker), di lapangan jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga,
dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van
Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.
Kritik kaum
liberal
Usaha kaum liberal di negeri
Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan
diberlakukannya UU Agraria, Agrarische
Wet. Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya
terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para
pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama
kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa
seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka
menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara
pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana,
menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
UU ini memperbolehkan
perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan
jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman
semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.
Kritik kaum
humani
Kondisi kemiskinan dan
penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes
Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya
Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu
diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat
Hindia Belanda.
Seorang anggota Raad van
Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan
kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalahDe
Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam
bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan
rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian
berkembang menjadi Politik Etis.
Dampak Tanam Paksa
Dalam bidang pertanian :
Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman
komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya
ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu,
yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa
VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasilrempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan
peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi
beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk
meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru
setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan
secara serius.
Dalam bidang sosial :
Dalam bidang pertanian,
khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara
majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya
homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian
tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan
menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih
senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan
kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
Dalam bidang
ekonomi :
Dengan adanya tanam paksa
tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal
oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong
terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan
tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya
untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah
milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil
produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta
tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam
paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi
penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan
bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa
pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah
pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk
tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara
dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang
dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam
pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala
desa itu sendiri.
Masa Gubernur Jenderal Thomas
Stamford Bingley Rafles di Indonesia
Raffles diangkat sebagai Letnan
Gubernur Jawa pada
tahun 1811,
ketika Kerajaan Inggris mengambil alih
jajahan-jajahan Kerajaan Belanda dan ia tidak lama kemudian dipromosikan
sebagai Gubernur Sumatera, ketika Kerajaan
Belanda diduduki oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis.
Sewaktu Raffles menjabat sebagai
penguasa Hindia-Belanda, ia telah mengusahakan banyak hal, yang mana antara
lain adalah sebagai berikut: beliau mengintroduksi otonomi terbatas,
menghentikan perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan pemerintah kolonial
Belanda, menyelidiki flora dan fauna Indonesia, meneliti
peninggalan-peninggalan kuno seperti Candi
Borobudur dan Candi
Prambanan, Sastra Jawa serta banyak hal lainnya.
Tidak hanya itu, demi meneliti dokumen-dokumen sejarah Melayu yang mengilhami
pencarian Raffles akan Candi
Borobudur, ia pun kemudian belajar sendiri Bahasa Melayu.
Hasil penelitiannya di pulau Jawa dituliskannya pada sebuah buku berjudul: History of Java, yang
menceritakan mengenai sejarah pulau Jawa. Dalam melakukan
penelitiannya, Raffles dibantu oleh dua orang asistennya yaitu: James Crawfurd dan
Kolonel Colin Mackenzie.
Istri Raffles, Olivia Mariamne, wafat pada tanggal 26 November 1814 di Buitenzorg dan
dimakamkan di Batavia, tepatnya di tempat yang sekarang menjadiMuseum
Prasasti. Di Kebun Raya
Bogor dibangun monumen peringatan untuk mengenang kematian sang
istri.
Kebijakan-Kebijakan Raffles di
Bidang tertentu
Bidang Birokrasi dan Pemerintahan :
Langkah-langkah Raffles pada bidang
pemerintahan adalah:
·
Membagi Pulau Jawa menjadi
18 keresidenan (sistem keresidenan ini berlangsung sampai tahun 1964)
·
Mengubah
sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem
pemerintahan kolonial yang bercorak Barat
·
Bupati-bupati
atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya yang mereka peroleh
secara turun-temurun
·
Sistem
juri ditetapkan dalam pengadilan
Bidang Ekonomi dan Keuangan :
Petani diberikan kebebasan untuk
menanam tanaman ekspor, sedang pemerintah hanya berkewajiban membuat pasar
untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan.
Penghapusan pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem penyerahan wajib
(verplichte leverantie) yang sudah diterapkan sejak zaman VOC.
Menetapkan sistem sewa tanah (landrent) yang berdasarkan anggapan
pemerintah kolonial. Pemungutan pajak secara perorangan.
Bidang Hukum :
Sistem peradilan yang diterapkan
Raffles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels. Karena Daendels
berorientasi pada warna kulit (ras), Raffles lebih berorientasi pada besar
kecilnya kesalahan. Badan-badan penegak hukum pada masa Raffles sebagai
berikut:
·
Court
of Justice, terdapat
pada setiap residen
·
Court
of Request, terdapat
pada setiap divisi
·
Police
of Magistrate
Bidang Sosial :
Penghapusan kerja rodi (kerja paksa)
dan penghapusan perbudakan, tetapi dalam praktiknya ia melanggar
undang-undangnya sendiri dengan melakukan kegiatan sejenis perbudakan.
Peniadaanpynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam dengan
melawan harimau.
Bidang Ilmu Pengetahuan :
·
Ditulisnya
buku berjudul History of Java di London pada tahun 1817 dan dibagi dua
jilid
·
Ditulisnya
buku berjudul History of the East Indian Archipelago di Eidenburg pada tahun 1820 dan dibagi tiga
jilid
·
Raffles
juga aktif mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan
kebudayaan dan ilmu pengetahuan
·
Ditemukannya
bunga Rafflesia Arnoldi
·
Dirintisnya Kebun Raya
Bogor
Dari kebijakan ini, salah satu
pembaruan kecil yang diperkenalkannya di wilayah kolonial Belanda adalah
mengubah sistem mengemudi dari sebelah kanan ke sebelah kiri, yang berlaku
hingga saat ini.
PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945,
dua kota besar di Jepang dibom atom oleh Sekutu. Hal ini membuat Jepang untuk
menyerah kepada Sekutu. Apalagi disusul dengan pengumuman perang Rusia kepada Jepang
pada tanggal 8 Agustus, langsung dari Mancuria menyerbu Korea dan terus masuk
ke Jepang dengan merebut Sakhalin semakin memaksa Jepang untuk menyerah kepada
Amerika Serikat (Sekutu).
Pada
tanggal 9 Agustus 1945 berangkatlah tiga orang tokoh, yaitu Ir. Soekarno, Moh.
Hatta, dan Dr. Rajiman Wediodiningrat, diiringi dokter pribadi Dr. Soeharto dan
diantar oleh Miyosi ke Saigon untuk memenuhi panggilan dari Terauchi. Dalam
pertemuan di kota Dalath, Terauchi menyampaikan kepada ketiga orang pemimpin
tersebut bahwa pemerintah Jepang telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan
kepada Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Untuk melaksanakan hal itumaka
dibentuk PPKI yang bertugas mempercepat usaha itu. Badan ini meskipun dibentuk
oleh Jepang, tetapi diizinkan melakukan segala sesuatunya menurut pendapat dan
kesanggupan bangsa Indonesia sendiri. Tetapi
dalam melakukan kewajiban itu PPKI harus memperhatikan hal, yaitu syarat
– syarat untuk mencapai kemerdekaan ialah menyelesaikan perang yang sekarang
sedang dihadapi, karena itu harus mengerahkan tenaga sebesar – besarnya dan
bersama – sama dengan pemerintah Jepang meneruskan perjuangan untuk memperoleh
kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya. Selain itu, kemerdekaan bangsa
Indonesia itu merupakan anggota Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Sekembalinya
ketiga tokoh pemimpin tersebut ke tanah air, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta
mengumumkan bahwa kemerdekaan hanya tinggal menunggu waktu saja dengan bantuan
dari Jepang melaui suatu Badan bentukan Jepang. Mendengar pengumuman tersebut,
para golongan muda lantas menolak kemerdekaan itu. Mereka beranggapan bahwa
kemerdekaan itu adalah pemberian dari Jepang dan bukan atas usaha perjuangan
bangsa Indonesia sendiri. Kemerdekaan seperti itu juga akan dicap oleh Sekutu
bahwa Indonesia adalah buatan Jepang, maka harus dihancurkan. Sejak saat itu
pertentangan pendapat antara golongan muda dan golongan tua.
Akibat
perbedaan pendapat itu maka pagi hari sekitar pukul 04.00 tanggal 16 Agustus
1945 Soekarno – Hatta diculik oleh Sudanco Singgih dan Sukarni dibawa ke
Rengasdengklok, kira – kira 15 km dari Karawang (Harian Kompas 3 – 9 – 1981: IV
– V). Dipilihnya Rengasdengklok karena tempat tersebut oleh komandan kompi
Subeno telah diamankan dari pengaruh Jepang. Di sana mereka membahas mengenai perbedaan
pendapat tentang kemerdekaan Indonesia.
Untunglah
perbedaan dapat pendapat tersebut dapat dijembatani oleh Ahmad Subarjo, seorang
tokoh pemuda yang bekerja di angkatan laut Jepang. Setelah itu diadakan
pertemuan di rumah seorang pembesar angkatan laut Jepang, Laksaman Muda Maeda
di Jalan Imam Bonjol no. 1 Jakarta.
1.
Detik – Detik Sekitar Proklamasi
Pertemuan di
rumah Laksamana Maeda menghasilkan suatu keputusan yang sangat penting, yaitu
sepakat untuk segera mencetuskan kemerdekaan. Soekarno menuliskan sebuah
konsep, kemudian Ahmad Subarjo (penasihat)
mendiktekan kalimat pertama “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaan Indonesia” yang merupakan kalimat yang dikutip dari sebagian Piagam
Jakarta. Kemudian Moh. Hatta menyempurnakannya dengan kalimat kedua : hal – hal
yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain – lain diselenggarakan dengan cara
saksama dan dalam tempo yang sesingkat – singkatnya. (Ahmad Subarjo, 1972: 108
– 109).
Setelah
teks selesai disusun, lalu dibacakan di hadapan pemuka – pemuka bangsa yang
menunggunya. Di situ teks dimusyawarahkan, iisi atau bunyinya. Setelah
disepakati, timbul masalah siapa yang
akan menandatanganinya. Apakah seperti halnya konstitusi Amerika, semua oang
yang hadir yang menandatangani, supaya kelak dapat diketahui oleh generasi
selanjuutnya. Chairul Shaleh tidak setuju apabila teks tersebut ditandatangani
oleh anggota PPKI. Akhirnya ditemukan jalan keluar oleh Sukarni dan disetujui
oleh semua yang hadir agar ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta, atas nama
bangsa Indonesia. Selanjutnya konsep tulisan tangan tersebut diketik oleh
Sayuti Melik dengan diadakan sedikit perubahan. Barulah teks yang sudah diketik
itu ditandatangani oleh Soekarno – Hatta. Bentuk yang terakhir ini yang disebut
naskah proklamasi yang otentik. (Nugroho Notosusanto,11 – 13).
Konsep
teks naskah Proklamasi yang ditulis dengan yang diketik telah mengalami sedikit
perubahan, yaitu :
Konsep
teks naskah Proklamasi yang ditulis tangan
|
Konsep
teks naskah Proklamasi yang diketik
|
-
tempoh (memakai h)
|
-
tempo (tidak pakai h)
|
-
Wakil – wakil bangsa Indonesia
|
-
Atas nama bangsa Indonesia
|
-
belum ada tanda tangan
|
-
terdapat atau telah
ditandatangani oleh Soekarno – Hatta
|
Tanggal 17
Agustus 1945 hari Jumat Legi sekitar jam 10.00 WIB upacara pembacaan teks
proklamasi kemerdekaan dimulai. Bertempat di rumah Bung Karno jalan Pegangsaan
Timur no. 56 Jakarta. Pengibaran bendera kebangsaan Sang Merah Putih dilakukan
oleh Latif Hendradiningrat ( Moh. Hatta, 282 – 283). Tanpa menyanyikan lagu
Indonesia Raya, kemudian Ir. Soekarno yang didampingi Moh. Hatta mengucapkan
suatu “pidato proklamasi” yang diucapkan sebelum dan sesudah membaca teks
proklamasi. Pidato Bung Karno ini memiliki nilai sejarah yang amat tinggi.
Berita
mengenai kemerdekaan ini disiarkan oleh kantor berita Domei sehingga rakyat
Indonesia dapat mengetahuinya dan mereka menyambut berita tersebut dengan
kebanggaan dan kegembiraan. Kira – kira setelah setengah jam barulah pihak
Jepang mengetahui berita tersebut. Dengan cepat dikeluarkanlah perintah
penarikan kembali berita proklamasi itu dengan alasan ada kekeliruan. Namun
berita sudah terlanjur terdengar ke mana – mana sehingga tidak ada tafsiran lain kecuali bahwa
bangsa Indonesia telah mengumumkan kemerdekaannya.Usaha lain yang dilakukan
untuk membatalkan proklamasi itu ialah memanggil Soekarno dan Hatta untuk
mempertanggungjawabkan tindakannya (Slamet Mulyono, 187).
2. Naskah Teks
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
PROKLAMASI
Kami bangsa
indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan indonesia.
Hal – hal jang
mengenai pemindahan kekoesaan d.l.l. diselenggarakan dengan tjara saksama dan
dalam tempo jang sesingkat – singkatnja.
Djakarta,
hari boelan 17 Agustus tahun ‘05
Atas nama bangsa Indonesia
( ttd )
Soekarno – Hatta
3. Pidato Proklamasi oleh Bung Karno
Saoedara –
saoedara sekalian
Saja telah meminta saoedara – saoedara oentoek hadir di
sini oentoek menjaksikansatoe peristiwa maha pentinng dalam sedjarah kita
Berpoeloeh – poeloeh tahoen kita Bangsa Indonesia telah
berdjoeang oentoek kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratoes – ratoes
tahoen.
Gelombangja aksi kita
oentoek mentjapai kemerdekaan kita itoe ada naiknja ada turunnja, tetapi djiwa
kita tetap menoejoe tjita – tjita.
Djoega di dalam zaman
Djepang, oesaha kita oentoek mentjapai kemerdekaan nasional tidak berhenti –
henti. Di dalam zaman Djepang ini, tampaknja sadja kita menjandarkan diri kepada
mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menjoesoen tenaga kita sendiri,
tetap kita pertjaja kepada kekoeatan sendiri.
Sekarang tibalah
saatnja kita benar – benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam
tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan koeatnja.
Maka kami, tadi malam
telah mengadakan moesjawarah dengan pemoeka – pemoeka Rakjat Indonesia dari
seloeroeh Indonesia. Permoesjawaratan itoe seia sekata berpendapat, bahwa
sekaranglah datang saatnja oentoek menjatakan kemerdekaan kita.
Saoedara – saoedara dengan ini kita njatakan keboelatan
tekad itoe.
Dengarkanlah proklamasi kami:
PROKLAMASI
Kami bangsa indonesia dengan ini
menjatakan kemerdekaan indonesia.
Hal – hal jang mengenai pemindahan
kekoesaan d.l.l. diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang
sesingkat – singkatnja.
Djakarta,
hari boelan 17 Agustus tahun ‘05
Atas
nama bangsa Indonesia
(
ttd )
Soekarno – Hatta
Demikianlah
saoedara – saoedara
Kita
sekarang telah merdeka
Tidak
ada soeatoe ikatan lagi jang mengikat Tanah Air kita dan Bangsa kita.
Moelai
saat ini kita menjoesoen Negara kita Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia,
kekal dan abadi.
Insja
Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itoe.
4.
Arti dari Kemerdekaan Indonesia
Dengan diproklamirkan
Kemerdekaan Bangsa Indonesia, berarti bahwa Bangsa Indonesia telah menyatakan
dengan secara formal, baik kepada dunia luar maupun kepada Bangsa Indonesia
sendiri, bahwa mulai saat itu Bangsa Indonesia telah merdeka. Merdeka berarti
bahhwa mulai pada saat itu Bangsa Indonesia telah mengambil sikap untuk
menentukan sendiri nasib bangsa dan nasib tanah airnya dalam segala bidang.
Oleh
karena itu pernyataan kemerdekaan, berarti bahwa mulai pada saat itu telah
berdiri Negara baru, yaitu Negara Republik Indonesia. Bersamaan pada saat itu
berdiri pula Tatahukum dan Tatanegaranya. Saat berdirinya Negara Republik
Indonesia adalah bersamaan dengan berdirinya Tatahukum Indonesia beserta dengan
Tatanegaranya, yaitu pada saat Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945.
5.
Hubungan antara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan Tatahukum dan Negara
Republik Indonesia
a) Hubungan antara Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dengan Tatahukum dan Negara Republik Indonesia.
Dengan dinyatakannya
Kemerdekaan Bangsa Indonesia, dilihat dari segi hukum, berarti bahwa Bangsa
Indonesia telah memutuskan ikatan dengan Tatananhukum yang sebelumnya, yaitu
baik Tatananhukum Hindia Belanda maupun Tatananhukum Pendudukan Jepang. Dengan
perkataan lain Bangsa Indonesia sejak saat itu telah mendirikan Tatananhukum
Baru, yaitu Tatahukum Indonesia, yang berisikan hokum Indonesia, yang
ditentukan dan akan dilaksanakan sendiri oleh Bangsa Indonesia.
Yang menjadi dasar
hokum daripada Tatananhukum yang Baru ini ialah “Proklamasi Kemerdekaan” itu
sendiri. Segala macam aturan – hukum yang merupakan atau akan merupakan bagian
daripada Tatahukum Indonesia adalah berpangkal kepada Proklamasi Kemerdekaan,
sehingga Proklamasi ini menjadi dasar dari berlakunya segala macam aturan dan
ketentuan hukum tadi. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah merupakan “norma
– pertama” daripada Tatahukum Indonesia.
b) Pengertian “norma – pertama”.
Norma – pertama ada yang menyebutnya
dengan istilah lain, yaitu “norma – dasar”, atau ada pula yang menyebutnya
“aturan – dasar”, atau istilah yang lain lagi, misalnya Prof. Muh. Yamin
menyebutnya dengan “Maha – sumber daripada segala aturan hokum”.
Dimaksud
dengan norma – dasar di sini ialah sebuah norma/aturan/ketentuan hukum yang
perttama adanya pada Tatahukum yang bersangkutan, oleh karena itu
norma/aturan/ketentuan tersebut menjadi dasar bagi berlakunya segala macam
norma/aturan/ketentuan hokum yang lainnya.
Berlakunya
norma – pertama tidak mungkin dapat dicari dasar hukumnya, kekuatan berlakunya,
kepada norma/aturan/ketentuan hukum yang lainnya yang sebelumnya. Selama suatu
norma/aturan/ketentuan secara hukum masih dapat dicari dasar hukumnya, kekuatan
berlakunya kepada norma/aturan/kekuatan hukum yang lainnya maka itu bukan norma
– pertama. Timbulnya norma – pertama membawa konsekuensi timbulnya Tatahukum
yang hakikatnya adalah Tatahukum baru, maka soal timbulnya norma – pertama pada
hakikatnya membawa pula timbulnya Negara yang baru.
c) Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
sebagai norma – pertama tidak dapat dicari kekuatan berlakunya pada Tatahukum
Penjajahan.
Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia sebagai norma – pertama dari Tatahukum yang baru, yaitu
Tatahukum Indonesia, tidak pula dapat dicari kekuatan berlakunya kepada salah
satu norma/aturan/ketentuan dari Tatanan – hukum yang sebelumnya, yaitu Tatanan
– hukum pihak penjajah, entah itu Tatanan – hukum tentara pendudukan balatentara
Jepang ataupun Tatanan – hukum Hindia Belanda.
Dasar
kekuatan berlakunya Proklamasi Kemerdekaan ini ialah penerimaan dari rakyatnya,
serta kesanggupannya untuk selalu memperjuangkannya hingga akhir zaman.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah merupakan perwujudan formal dari salah
satu gerakan revolusi Bangsa Indonesia untuk menyatakan baik kepada diri kita
sendiri maupun kepada dunia luar (dunia internasional), bahwa Bangsa Indonesia
mulai pada saat itu telah mengambil sikap untuk menentukan bangsa dan nasib
tanah air di dalam tangan bangsa sendiri, yaitu mendirikan negara sendiri
termasuk antara lain Tatahukum dan Tatanegaranya.
d) Pancasila adalah merupakan sumber
dari segala sumber hukum dalam Tatahukum Indonesia.
Di
dalam memorandumnya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang telah diterima
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Ketetapannya MPRS No.
XX/MPRS/1966, dikemukakan bahwa Pancasila adalah merupakan “sumber dari segala
sumber hukum Indonesia”.
Pancasila
sebagai segala sumber hukum Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Memorandum
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, maka di sini yang dimaksudkan ialah
sumber dari segala sumber dalam arti “material”, yaitu sebagai pandangan hidup,
kesadaran dan cita – cita hukum serta cita – cita moral luhur yang meliputi
suatu kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia, yang merupakan cita – cita
bangsa Indonesia yang sudah sejak dahulu kala yang kemudian pada tanggal 8
Agusrus 1945 dimurnikan dan dipadatkan menjadi Dasar Negara ialah Pancasila,
yang merupakan inti dari Pembukaan UUD 1945. Jadi sebenarnya Proklamasi itu
merupakan salah satu perwujudan formal di mana merupakan suatu pernyataan, bahwa
mulai saat itu Bangsa Indonesia membentuk Negara Republik Indonesia, sebagai
alat lebih lanjut dalam merealisasikan tujuan perjuangaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Joeniarto, SH. tt. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia.
Bina Aksara. Jakarta.
Sumarmo, AJ, Drs. 1991.
Pendudukan Jepang dan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia. IKIP Semarang Press. Semarang.
Sudiyo, Drs.
2002.Pergerakan Nasional Mencapai
Kemerdekaan & Mempertahankan Kemerdekaan. Rineka Cipta. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar