BABAD
SOKARAJA
Narasumber
: Drs. Amin Supangat
(Lurah
Desa Karang Duren, kecamatan Sokaraja, kabupaten Banyumas, periode 2007 -2013)
Tempat,
tanggal lahir : Banyumas, 15 Juni 1962
Alamat
: Karang Duren Rt 1 Rw 3
Kecamatan Sokaraja, Kabupaten
Banyumas
Pada suatu hari,
Adipati Sokaraja yang bernama Raden Jebug Kusumo dan istrinya sedang memikirkan
anaknya yang bernama Raden Mas Kuncung yang sedang menuntut ilmu di daerah
Cirebon. Tiba – tiba datang seorang begawan yang bernama Ki Reksonoto dari
pertapaan Kendang Bolong (wilayah kabupaten Purbalingga) yang sedang dikejar –
kejar oleh Kali Genteng, putera dari Kerta Bangsa (Adipati Purbalingga). Kali
Genteng menginginkan Pusaka Brongos Setan Kober yang berwujud sebagai keris.
Kali Genteng memaksa meminta pusaka tersebut karena diberi tahu oleh ayahnya
apabila ia ingin mewarisi tahta Adipati dari ayahandanya, maka ia harus bisa
mendapatkan keris Setan Kober tersebut yang dimiliki oleh Begawan Reksonoto
(yang tidak lain adalah kakeknya sendiri).
Ternyata keris Setan
Kober telah diberikan kepada Raden Jebug Kusumo karena ia adalah anak yang
tertua, maka tidak mungkin Ki Reksonoto memberikan keris tersebut kepada Kali
Genteng. Akhirnya Kali Genteng geram dan ingin membunuh Ki Reksonoto. Maka
terjadilah keributan antara Adipati Jebug Kusumo, Ki Reksonoto, dan Kali
Genteng di Pendopo Kadipaten Sokaraja.
Pada saat terjadi keributan itu, datanglah
Raden Mas Kuncung. Ia bertanya kepada ayahandanya mengenai kejadian yang sedang
diributkan di Pendopo Kadipaten Sokaraja. Kemudian ayahnya menjawab bahwa Kali
Genteng akan membunuh Ki Reksonoto karena tidak menyerahkan Pusaka Brongos
Setan Kober. Oleh karena itu, untuk mengamankan situasi, Jebug Kusumo
menyerahkan permasalahan itu kepada R. M. Kuncung. Kemudian terjadi keributan
antara Raden Kuncung dengan Kali Genteng. Kali Genteng terpojok dan melarikan
diri menyelam ke sebuah sungai. Para prajurit dari Kadipaten Sokaraja melempari
sungai tersebut dengan batu atau benda – benda yang ada di sekitar mereka.
Bahkan R. M Kuncung dan prajuritnya masih tetap mencari Kali Genteng dengan
menyelam ke sungai tersebut.
Pada saat berada di
dalam air, tiba- tiba R. M. Kuncung memegang kepala seekor ikan besar yang
halus dan licin, seperti pelus. Oleh sebab itu, R.M. Kuncung memberi nama
sungai tersebut sungai Pelus. R. M. Kuncung terus mencari Kali Genteng dan
sampailah ia di sebuah tempat yang luas dan airnya tenang dan dalam. R. M.
Kuncung dan prajuritnya mengira Kali Genteng sudah mati karena lama tidak
muncul ke permukaan. Anehnya, tempat tersebut tidak berbau anyir, namun malah
berbau harum sehingga ia memberi nama tempat tersebut sebagai Kedung Kenanga.
Pencarian tidak berhenti sampai di situ, mereka mencari sampai ke bagian hilir
sungai dan mereka mendapati banyak ikan kecil yang mirip seperti ncit. Kemudian
R. M. Kuncung memberi nama tempat tersebut Kalincit (sekarang tempat teersebut
adalah sebuah gerumbul di desa Pajerukan, kecamatan Kalibagor).
Setelah lama mencari,
akhirnya mereka tidak menemukan Kali Genteng. R. M. Kuncung dan prajuritnya
mengira Kali Genteng sudah mati. Mereka memutuskan untuk kembali ke Kadipaten
Sokaraja dan segera melaporkan hal ini kepada Adipati Sokaraja. Sebenarnya,
tanpa sepengetahuan dari R. M. Kuncung, Kali Genteng sudah lebih dulu muncul di
daerah hilir sungai Pelus dan lari ke arah utara, kembali ke Kadipaten
Purbalingga untuk menyelamatkan diri sebab Kali Genteng sudah merasa terpojok.
Sesampainya di
Kadipaten Purbalingga, Kali Genteng mendapat tugas dari ayahandanya untuk meresmikan
sebuah pasar baru di daerah Watu Kumpul (wilayah kabupaten Pemalang, dari Belik
ke arah timur). Peresmian pasar tersebut disertai dengan hiburan wayang dengan
dhalang Mocokondo atau sejenis wayang dengan dhalang Jemblung. R. M. Kuncung
mengetahui bahwa Kali Genteng mencari dhalang Mocokondo, maka ia menyamar
sebagai dhalang Mocokondo dengan lakon babad Purbalingga – Sokaraja.
Pada saat menceritakan
babad Purbalingga – Sokaraja, Kali Genteng tersinggung dengan dengan cerita
dhalang tersebut, sontan Kali Genteng menendang itu dhalang dan terjadilah
perkelahian antara Kali Genteng dan dhalang Mocokondo itu yang sesungguhnya
adalah R. M. Kuncung. Ki dhalang
menusukan pusaka Brongos Setan Kober ke arah Kali Genteng. Karena
terkena pusaka tersebut, Kali Genteng berubah wujud menjadi seekor naga.
Kemudian Kali Genteng yang berwujud sebagai naga kembali kepada orang tuanya
dan orang tuanya memerintahkan agar ia bertapa selama 40 tahun.
Dengan adanya kisah
tersebut, maka muncul mitos yang menyatakan bahwa jika ada orang Purbalingga
yang mandi di sungai Pelus, maka orang tersebut akan celaka. Mitos ini dipercai
oleh warga Sokaraja.
Analisis
Ø The myth of concern dalam babad
Sokaraja, yaitu :
Pada
saat terjadi perang antara Raden Mas Kuncung dengan Kali Genteng, Kali Genteng
dianggap kalah dan menceburkan diri pada sebuah sungai yang diberi nama sungai
Pelus oleh Raden Mas Kuncung. Kemudian pada saat Raden Mas Kuncung terlibat
perkelahian kembali ketika Kali Genteng tersinggung dengan cerita yang
dibawakan oleh dhalang Mocokondho yang sebenarnya adalah Raden Mas Kuncung,
Kali Genteng tertusuk di bagian perutnya oleh Keris Brongos Setan Kober yang
dipegang oleh Raden Mas Kuncung setelah mendapat kuasa penuh dari ayahandanya,
Ki Jebug Kusumo yang tidak lain adalah Adipati Sokaraja. Setelah tertusuk, Kali
Genteng berubah menjadi seekor naga. Oleh sebab itu, muncul mitos bahwa jika
ada orang Purbalingga yang mandi di sungai Pelus, maka orang tersebut akan
celaka. Mitos ini dipercai oleh warga Sokaraja.
Ø Counter-myth dalam babad Sokaraja,
yaitu :
Saat
terjadi perang atau perkelahian antara Raden Mas Kuncung melawan Kali Genteng,
pihak yang dianggap kalah ialah dari pihak Raden Mas Kuncung. Setelah Raden Mas
Kuncung kalah, kemudian ia pergi ke daerah di mana masyarakatnya mayoritas
adalah masyarakat Sunda dan ia menetap di daerah tersebut.
WATU
SINOM
Narasumber : Bpk. Patoni
Tempat, tanggal lahir : Banyumas, 16 Oktober 1950
Alamat : Desa Pangebatan RT 01/06 kec. Karang Lewas, kab. Banyumas.
Watu sinom
terletak di Kecamatan kedungbanten, merupakan daerah yang asal mulanya dekat
dengan kadipaten pasirluhur. Sehingga tidak heran jika banyak petilasan di
wilayah kecamatan kedungbanteng. sejarahnya ternyata ada juga petilasan yang
cukup unik di kedungbanteng, yaitu watu sinom yang tepatnya berada di Desa
keniten.
Watu
sinom terletak di area persawahan yang berbatasan dengan rumah
warga, terletak di kebunan lokasinya sekitar di belakang SMP Negeri 2
Kedungbanteng. Merupakan berupa Batu yang sangat besar, kalau di ukur mungkin
seperti satu bangunan rumah. Masyarakat sekitar menyebutnya watu sinom
watu : batu dan simon ada yang menyebutnya berasal dari kata enom atau muda.
Nama sinom tidak terlepas dari cerita babad kamandaka yang sangat popular di
Indonesia.
SEJARAH WATU SINOM
menurut cerita,
watu sinom adalah tempat bertemunya Raden Kamandaka ( raden banyak cakra )
dengan adiknya Raden Banyak ngampar (banyak blabur) yang telah bertahun-tahun diutus untuk
mencarinya. Di batu sebesar rumah itulah mereka saling menantang untuk
bertarung, karena mereka yang telah lama berpisah tidak saling mengenal.
Kamandaka yang naik ke puncak batu tidak dapat disusul adiknya yang tidak dapat
memanjat batu tersebut. Setelah saling tahu bahwa mereka adalah saudara,
Kamandaka turun dan memeluk adiknya. Untuk mengenang peristiwa itulah nama desa
di tempat itu diberi nama "Keniten"
desa keniten itu artinya pengingat. Desa keniten sendiri terbagi menjadi
2 Kadus,yaitu :
·
Keniten dan
·
Peluang.
Desa Keniten
berbatasan dengan beberapa desa lainnya di kecamatan Kedung Banteng, yaitu:
1.
Desa Kalikesur di sebelah utara.
2.
Desa Karang Nangka,
dan Beji di sebelah timur. .
3.
Desa Kedung Banteng di sebelah selatan.
4. Desa Dawuhan Wetan di sebelah barat.
KONDISI SITUS
Keadaan
sekarang konon tidak setinggi pada jaman dulu, mungkin karena semakin tertekan
masuk ke bumi sehingga Nampak tidak begitu besar dan tinggi. Namun bagi yang
pertama kali ke watu sinom pasti akan terkagum-kagum dengan indahnya ciptaan
Tuhan.
Manfangat....
BalasHapusAna sing maca'ni kie ..
Nng nggonku ana sing selalu nggoleti sejarah jawa
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusSaya sangat senang menemukan blog ini. Saya dilahirkan, dibesarkan dan sampai saat ini tinggal di Medan. Namun silsilah keluarga saya masih memiliki keturunan Jawa. Terimakasih Didi Kempot yang membikin saya ingin tau lebih banyak tentang akar budaya saya. Saya sedang belajar berbahasa Jawa, walau sedikit bisa ngoko. Terimakasih Pak Blogger. Maturnuwun Sanget.
BalasHapusBabad sokaraja dan kalipelus bisa di bahasa jawa tidak?
BalasHapus