A. Latar Belakang
Indonesia
adalah Negara yang majemuk, berbagai suku, ras, budaya, adat, agama dan bahasa,
ada di dalamnya. Bahasa, adalah salah satunya yang menjadikan negeri kita ini
semakin beragam. Setiap suku, pasti memiliki bahasa tersendiri, sebut saja suku
Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Dayak, itu hanya sebagian kecil saja. Menarik
perhatian adalah tentang bahasa Jawa. Bahasa Jawa termasuk salah satu bahasa
yang sudah kita kenal dan sudah kita gunakan sedari kita kecil. Sadar atau
tidak, bahasa krama Jawa ternyata sangat mempengaruhi kita. Diantara semua
orang yang berada di Jawa, sebagian besar dari mereka pasti mengajarkan bahasa
krama kepada anak-anaknya semenjak lahir.
Bahasa Jawa mempunyai
peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.Dari segi kuantitas,
pemakai bahasa jawa lebih dari 150.000.000 jiwa dan tinggal dimana-mana. Di
pulau Jawa khususnya dan di seluruh kepulauan nusantara pada umumnya, bahasa
Jawa menjadi alat komunikasi yang akrab dan luas. Bahkan orang Indonesia yang
tinggal di luar negeri, bahasa Jawa kerap digunakan sebagai lambang jati diri
bangsa. Sejak dulu kala, bahasa Jawa telah digunakan untuk mewariskan
nilai-nilai kebudayaan secara turun temurun.
Pada
hakikatnya bahasa merupakan alat komunikasi. Berbahasa adalah berkomunikasi.
Hakikat berkomunikasi adalah proses penyampaian pesan, bukan sistem penyampaian
pesan. Berhasil tidaknya berkomunikasi bergantung pada sampai-tidaknya
informasi yang disajikan, bukan rapi atau tidaknya sistem komunikasi yang
digunakan.
1. Sejarah Asal-Usul
Bahasa Jawa
A. Perkembangan Bahasa
Nusantara
Bahasa Jawa satu asal
dengan bahasa orang-orang di sekitar pulau Jawa, seperti bahasa Sunda, Melayu,
Madura, Dayak, Bugis, dan sebagainya. Bahasa-bahasa yang di pakai di daratan
atau di pulau-pulau diantara pulau Pas di sebelah timur, mulai dari pulau
Madagaskar di sebelah barat, di sebelah utara adalah pulau Formosa, dan di
sebelah selatan adalah pulau Selandia Baru.
Bahasa-bahasa di
wilayah tersebut termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa-bahasa
tersebut satu asal dengan bahasa-bahasa di Hindia Belakang yang di sebut Mon
Khmer yang juga masih banyak persamaannya dengan bahasa Polong, bahasa Samkai,
Munda, dan Samtali.
Semua bahasa tersebut
termasuk dalam rumpun bahasa Austro Asia.Pengelompokan bahasa Austronesia dapat
di bagi menjadi dua kelompok, yaitu : bahasa Oceania dan bahasa Indonesia.
Bahasa Oceania dibagi
menjadi tiga kelompok menurut jauh dekatnya letak pulau-pulau tersebut, yaitu:
bahasa-bahasa Mikronesia, bahasa-bahasa Melanesia dan bahasa-bahasa Polinesia.
Adapun bahasa Indonesia menurut arah mata angin dibedakan menjadi dua macam,
yaitu : bahasa-bahasa di sebelah barat dan utara, dan bahasa-bahasa di sebelah
timur.
B. Pemakai Bahasa Jawa
Bahasa-bahasa di
Indonesia dan wilayah sekitarnya pada awalnya merupakan satu asal. Jika
kemudian terpecah-pecah menjadi bermacam-macam bahasa, terutama disebabkan oleh
karena Indonesia terdiri dari banyak pulau. Keadaan geografis tersebut
menyebabkan berkurangnya pengaruh bahasa satu dengan bahasa yang lain. Selain
itu masing-masing pulau mempunyai pemerintahan daerah sendiri-sendiri. Keadaan
yang demikian itu menyebabkan tumbuhnya beraneka macam bahasa hingga sekarang
ini. Sebab-sebab yang lain di antaranya ialah dalam satu daratan, rendahnya
intensitas pertemuan (rendahnya mobilitas) juga menyebabkan bergeser dan
berubahnya sebuah kata, pengertian dan maknanya, dan juga menyebabkan perbedaan
cara menyusun kata dalam sebuah kalimat, sehingga muncul bermacam-macam cengkok
bahasa (dialek). Sehingga sama-sama bahasa Jawa, tempat yang satu dengan yang
lain cengkoknya tidak sama baik itu hal baiknya, kasarnya atau halusnya.
Menurut beberapa pendapat sampai saat ini, cengkok bahasa Jawa yang dianggap
baik dan halus adalah : Cengkok Surakarta atau Cengkok Yogyakarta.
Sebagaimana halnya
Bahasa Portugis, pengaruh Bahasa Cina terhadap Bahasa Jawa melalui kontak
dagang. Kata-kata yang telah terserap dalam Bahasa Jawa misalnya: bakmi, bakwan, bakso, bakpia, tahu, cawan,
saoto, kuwih, mangkok, conto, dacin, teh, loteng, dan sebagainya. Bahasa
Melayu yang terserap dalam Bahasa Jawa tidak terlalu banyak jika dibandingkan
dengan Bahasa Jawa yang terserap dalam Bahasa Melayu. Kata-kata yang termasuk
dalam Bahasa Jawa misalnya: tempo, bung,
kerja, pengaruh, gencatan senjata, naskah, istimewa , dan sebagainya. Pada
masa pemerintahan Hindia Belanda dan Inggris tentu saja banyak kata-kata yang
terserap dalam Bahasa Jawa. Kata-kata tersebut misalnya: sekolah, buku, bangku, lampu, potelot, bensin, mesin, pen, grip,
montor, karcis, onder, residen, gubernur, dokter, dan sebagainya.
C. Madu Basa, Madu Rasa,
Madu Brata
Menurut Damardjati
Supadjar, pujangga-pujangga dan sarjana-sarjana dahulu pada umumnya sedikit
bicara. Tekanannya terletak pada pengolahan dini dan pembinaan kepribadian.
Mereka yang ada di depan, pan pemuka masyarakat, para pemimpin, haruslah asungtuladha , golongan menengah mangun karsa dan mayoritas rakyat tut wuri handayani.
Walaupun demikian bukannya
pelajaran-pelajaran tadi lalu bercerai-berai dan berserakan tanpa sistem,
melainkansegalanya berlangsung dengan hati-hati, memerlukan kehalusan perasaan,
intensitas kemauan dan bertingkat-tingkat: Madu
basa yaitu meliputi sopan-santun berbahasa, tata cara, adat istiadat,
pokoknya hal ikhwal memadu bahasa, demi kemanisan madunya. Madu rasa yang
meliputi tepa sarira, tepa-tepi, unggah-ungguh,
eguh-tangguh, tuju panuju, empan papan, kalam,angsa, dan duga prayoga. Kemanisan rasa yang
dialami pada tingkat kedua ini lebih mendalam dan Jauh lebih lama
berlangsungnya daripada tingkatan pertama, juga lebih mengasyikkan. Kesenangan
orang yang sedang thalabul ilmi, ngudi ka-wruh, tidah pernah berku-rang bahkan
selalu bertambah.
Madu brata meliputi:
1. Eling lan waspada atau awas
eling
2. Nawung kridha : manusia dapat
merasakan sendiri bahwa pemeliharaan hidupnya memerlukan pengetahuan tentang
tabiat alam yang berbeda-beda. Manusialah yang harus adaptif dan responsif
terhadap alam dalam batas-batas seperlunya.
3. Pangastuti:yaitu daya batin yang diridhai Tuhan (jinurung ingghaib), yang mampu mengalahkan
sura dira jayaningrat.
Sistematika bertingkat tiga:
madu-basa, madu-rasa dan madu brata tersebut sejalan dengan kehidupan maknawiyah
kawi sastra yang merupakan prasapa Sultan Agung.
Tata trapsilaning wuwus
sandining sastra
sandining sasmita
pamardjati Supadjar,
1978: 74-79).
D. Bahasa Para Pujangga
Ketajaman batin
pujangga Ranggawarsita menyebabkan beliau juga mendapat gelar SangKawiNawung
Kridha. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati,
Ranggawarsita mengajukan syarat-syarat untuk menjadi dwija yang baik meliputi
delapan kriteria seperti berikut.
1.
Paramasastra,
yang berarti mahir dalam hal sastra.
2.
Paramakawi,
yang berarti mahir dalam hal kata-kata Kawi, yaitu kata-kata puitis yang lazim
digunakan dalam gita.
3.
Mardi
basa, yang berarti dapat menguasai bahasa dengan
memilih kata-kata yang tepat dan pantas.
4.
Mardawalugu,
yang berarti mahir dalam hal seni suara.
5.
Awicara,
yang berarti pandai mengarang atau bercerita.
6.
Mandraguna,
yang berarti menguasai banyak pengetahuanbaik kasar maupun halus
7.
Nawungkridha,
yang berarti menguasai gerak lahir dan batin, termasuk kawaskithan,
8.
Sanbegana,
Yang berarti mempunyai daya ingat Yang kuat. (Serat Wirid Hidayat Jati).
Dalam
pengembangan sastra babad, Sultan Agung tampaknya memegang peranan yang sangat
penting dan menentukan. Ia sadar betul bahwa sastra babad dapat dimanfaatkan
sebagai alat politik. Ini dapat diketahui dari perintahnya untuk menulis babad
dalam tahun 1626 dan penulisannya kembali dalam tahun 1633, yaitu setelah
kegagalannya menyerang Jakarta pada tahun 1628 dan 1629. Mengingat perkembangan
babad sejalan dengan per-kembangan unggah-ungguhing
basa yang Sultan Agung mempunyai minat begitu besar, masuk akal jika
terdapat pendapat bahwa Sultan Agung memang berperan besar dalam pengembangan
babad. Karena itu tidak mustahil bahwa dalam pengembangan unggah-ungguhing basa, Sultan Agung memegang peranan yang
menetukan. Unggah-ungguhing basa itu
dikembangkan dengan memanfaatkan para pujanggakraton (Moedjanto, 1994: 60).
Hingga akhir abad ke-16, pada zaman kerajaan Demak dan Pajang, unggah-ungguhing basa
mungkin sudah mulai semi, meskipun
hampir tidak ditemui hasil sastra dari zaman ini tidaklah sangat penting untuk memberikan
penjelasan lebih lanjut. Yang lebih penting ialah kepastian bahwa dalam abad
ke-17unggah-ungguhing basasudah
muncul dan kemudian mengalami perkembangan yang memberikan bentuk tetapberupa
tataran ngoko krama dalam abad ke-17.
Unggah-ungguhing
basamerupakan alat untuk menciptakan jarak
sosial, namun di sisi lain unggah-ungguhing
basa juga merupakan produk dari kehidupan sosial. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa struktur masyarakat merupakan faktor pembentuk dari struktur bahasa. Atau
dapat juga dikatan struktur bahasa merupakan pantulan dari struktur masyarakat.
Struktur bahasa yang mengenal unggah-ungguhing
basa merupakan pantulan dari struktur masyarakat yang mengenal tingkatan-tingkatan
sosial atau stratifikasi sosial. Makin rumit unggah-ungguhing basa, pasti makin rurnit juga stratifikasi
sosialnya.
Selanjutnya unggah-ungguhing basa memang sangat rumit,
meskipun sebenarnya tataran yang pokok hanyalah dua, yaitu ngoko dan krarna,
lalu di antara kedua tataran pokok itu terdapat banyak variasi (Poerwadarminta,
t: 7- 10). Pararel dengan taran baku tersebut, sesungguhnya masyarakat Jawa
terbagi dalam dua strata baku, yaitu sentana
dalem dan kawula dalem, dengan abdi dalem sebagai
penghubung atau perantara.
Tiap stratum sosial merniliki
kaidah tersendiri, termasuk di dalamnya unggah-ungguhing
basa. Di kalangan sentana dan abdi dalem, penggunaan tataran krama oleh
anak dalam berbicara dengan orang tua mereka adalah suatu keharusan, akan
tetapi dalam kalangan orang kebanyakan adalah tidak. Kebiasaan berbicara orang
kebanyakan pada masa terakhir, yang melanjutkan tradisi, dapat menjadi
Pegangan. Keterangan yang lebih pasti dapat ditemukandalarn wayang, misalnya
percakapan antara sesamapanakawan, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Keempat
panakawan itu berbicara dalam bahasa ngoko satu dengan yang lainnya. Jadi si
anak, Gareng dan adik-adiknya, ngoko saja kalau bebicara dengan Semar, ayahnya,
tanpa dinilai kurang sopan. Seperti juga percakapan keluarga Sagopa-Sagopi,
kepala pedukuhan Widarakandang. Kyai Sagopa, Nyai Sagopi, anaknya Udawa dan
Larasati masing-masmg berbicara dalam bahasa ngoko (Moedjanto, 1994: 61).
Fungsi dan penggunaan
bahasa ngoko krama dalam masyarakat Jawa adalah Pertama, sebagai norma pergaulan masyarakat. Dalam bergaul dengan
orang lain dalam hidup bermasyarakat, ia dituntut untuk mengikuti kaidah sosial
tertentu. Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh orang itu dalam bergaul
dengan sesama warga masyarakat ialah bahasa Jawa yang dipakai.
Seperti halnya terhadap suatu
kaidah seseorang yang tidak menaatinya dapat terkena sanksi, demikian juga dalam
berbahasa. Kaidah dalam penggunaan bahasa, dalam hal ini penggunaan tataran
ngoko krama, atau unggah-ungguhing basa,
harus ditaati. Kalau seseorang berbahasa jawa dengan orang lain dengan tidak
tepat tataran yang digunakan, maka pergaulan dengan orang lain meniadi terganggu,
menjadi tidak serasi, menjadi tidak harrnonis. Karena itu dalam pergaulan
sehari-hari, bila menggunakan bahasa jawa, seseorang dituntut oleh masyarakat
untuk menggunakan tataran bahasa jawa secara tepat, sesuai dengan kedudukan
seseorang di dalam keluarga, status sosial, tingkat kebangsawanannya, umur,
atau prestisnya(Widyasastra Digdaya,1953: 2)
Kedua, erat hubungannya
dengan yang pertama, tataran bahasa Jawa dipakai sebagai tataunggah ungguh. Istilah unggah ungguhberarti yang lebih luas
daripada unggah ungguhing basa. Unggah ungguhberarti tata sopan santun,
sedangkan unggah ungguhing basaberarti
tataran ngoko krama, ini berkembang, mungkin karena keinginan bawahan untuk
menunjukkan sikap hormatnya terhadap atasan. Di lain pihak mungkin juga harapan
dari atasan untuk memperoleh penghormatan dengan penggunaan bahasa yang halus. Pada
umumnya penghormatan dengan bahasa hanya terbatas dalam kata-kata tertentu.
Akan tetapi kemudian makin sering kata hormat dipakai, sehingga frekuensi
penggunaan makin tinggi.
Dengan ini maka bahasa
Jawa bukan lagi hanya mengenai kata-kata hormat, yang ada daiam setiap bahasa,
akan tetapi telah menjadi bahasa tersendiri, yaitu bahasa halus, bahasa
penghormatan, bahasa krama (Pigeaud, 1924: 20, 280). Dengan munculnya unggah ungguhing bahasa, seseorang
dituntut untuk menggunakan tataran bahasa Jawa yang tepat, sebab kalau tidak
tepat akan menimbulkan perasaan tidak enak di antara para pemakainya. Orang-orang
desa dan orang-orang yang tidak termasuk dalam kelas priyayi atau terpelajar
akan diberi maaf kalau tidak dapat menerapkan aturan ngoko kromo secara tepat.
Sebaliknya tidak dapat dimaafkan kalau mengaku priyayi atau terpelajar tetapi
tidak dapat berbahasa Jawa secara layak. Hal ini akan dicap sebagai tidak
sopan, ora ngerti krama,kurangajar (Astuti
Hendrata, 1958: 54)
Orang yang diajak
bicara dengan bahasa yg tidak semestinya akan merasa tidak dihormati, karena
itu dapat kehilangan simpati.
Dalam usahanya
rnenga1ahkan Jipang, Pernanahan pernnah menulis surat tantangan sebagai
berikut:
Penget! Layang ingsun
Kanjeng Sultan Pajang tumeka marang Arya Penangsang. Liring layang: yen sira
nyata wong lanang sarta kendel, payo prang ijen, aja ngawa bala, nyabranga
marang sakulon bengawan iki. Sun enteni ing kono.
Dalam tata
kebangsawanan Demak, Penangsang lebih tinggi daripada Hadiwijstya, karena ia
adalah keturunan langsung Sultan Demak sedang Hadiwijaya hanyalah rnenantu
Sultan Demak. Dilihat dari silsilah, Penangsang lebih tua daripada istriHadiwijaya,
karena ia adalah. Anak Pangeran Lepen, kakak Trenggana. Sebelum perselisihan
antara Penangsang dan Hadiwijaya menjadi pertentangan terbuka, keduanya
berbican dalam babasa krama (Meinsma, 1941: 56).
Perubahan tata bahasa
yang dipakai dalam surat itu merupakan tantangan bagi Penangsang, apalagi bunyi
surat itu sendiri itu merupakan tantangan. Dalam surat itu sebutan penghormatan
kakang bahkan tidak dituiis di depan nama Penangsang. Tantangan itu memang
dapat saja dalam tataran krama, seperti sebehun permusuhan terbuba akan tetapi
akan terasa aneh.
Ketiga, penggunaan bahasa ngoko krama berfungsi sebagai alat
untuk menyatakan rasa hormat dan keakraban. Tataran krama dipakai untuk
menyatakan hormat kepada orang yang diajak bicara, sedang tataran ngoko dipakai
untuk memperlihatkan derajat keakraban di antara mereka yang berbicara.
Keempat, bahasa jawa
juga berfungsi sebagai pengatur jarak sosial (social distance).
Sebagai suatu dinasti yang baru
saja berhasil mengubah status sosial, dinasti Mataram ingin menunjukkan bahwa dirinya
bukan keluarga sernbarangan, melainkan dinasti terpilih yang mengungguli
ke1uarga-ke1uarga lain. Untuk menunjukhn keunggulan (superiority), kejayaan (glory)
dan kebesaran (greatness) dinasti
Mataram, maka dinasti ini sejak Sultan Agung terutama, perlu menciptakan jarak
sosial. Dan alat untuk menciptakan jarak sosial ini adalah antara lain pengembangan
tataran bahasa jawa ngoko-krama.
Dalam, kaitannya dengan
pengembangan kekuasaan, yang menyangkut juga masalah konsolidasi kedudukan
dinasti Mataram perlu memperkuat kedudukan yang baru direbut. Dari berbagai
cara yang ia lakukan untuk mengokohkan supremasi kekuasaan di jawa,
pengembangan tataran ngoko-krama memang sengaja dikembangkan, sehingga menjadi
rurnit, sebagai alat politik, justru karena dinasti Mataram menyadari dirinya berasal
dari kalangan. petani. Dinasti Mataram mengalami mobilitas dari Waisya ke Ksatria.
Untuk menopang kedudukan sosial yang baru, jarak sosial antara dinasti Mataram
dengan kelompok sosial lain perlu diciptakan. Salah satu alat untuk terciptanya
jarak sosial itu ialah pengembangan tataran ngoko krama, tataran krama merupakan
tataran atas, tataran ngoko merupakan tataran bawah (Moedjanto, 1987).
E. Unggah-ungguhing Basa
Ketika seseorang berbicara
selain memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa, juga masih harus memperhatikan
siapa orang yang diajak berbicara. Berbicara kepada orang tua berbeda dengan
berbicara pada anak kecil atau yang seumur. Kata-kata atau bahasa yang
ditujukan pada orang itulah yang disebut: unggah-ungguhing
basa. Unggah-ungguhing basa
pada dasarnya dibagi menjadi tiga: Basa Ngoko, Basa
Madya, dan Basa Krama.
Selain yang disebut di
atas orang-orang di. istana/kedhaton menggunakan Bahasa Kedhaton atau yang
sering disebut Basa Bagongan. Di bawah ini adalah skema pembagian unggah-ungguhing basa:Basa Ngoko : Ngoko
Lugu, Ngoko Andhap; Basa Madya : Madya Ngoko, Madya Krama, Madyantara; Basa
Krama : Mudha Krarna, Kramantara, Wredha Krama, Krama Inggil, Krama Desa, Basa
Kedhaton (Bagongan)
Diantara bahasa-bahasa
tersebut di atas yang sering digunakan ialah Basa Ngoko, Mudha Krama, dan
Krarna Inggil. Meskipun demikian tidak ada salahnya jika kita rnengetahui
macam-macam basa seperti yang telah disebut di atas, terutama bagi mereka yang
ingin mempelajari Bahasa jawa. Basa Kasar tidak perlu dijelaskan di sini hanya
saja bentuknya adalah campuran antara Basa Ngoko dengan kata-kata kasar.
2. Eksistensi Bahasa Jawa
Dalam Pergaulan Anak Muda
Indonesia adalah Negara
yang majemuk, berbagai suku, ras, budaya, adat, agama dan bahasa, ada di
dalamnya. Bahasa, adalah salah satunya yang menjadikan negeri kita ini semakin
beragam. Setiap suku, pasti memiliki bahasa tersendiri, sebut saja suku Jawa,
Sunda, Batak, Bugis, Dayak, itu hanya sebagian kecil saja. Menarik perhatian
adalah tentang bahasa Jawa. Bahasa jawa termasuk salah satu bahasa yang sudah
kita kenal dan sudah kita gunakan sedari kita kecil. Sadar atau tidak, bahasa
krama Jawa ternyata sangat mempengaruhi kita. Diantara semua orang yang berada
di Jawa, sebagian besar dari mereka pasti mengajarkan bahasa krama kepada
anak-anaknya semenjak lahir.
Anak yang biasa diajari
dengan bahasa krama Jawa sejak kecil hingga remaja, tata cara berbicara dengan
orang lain akan berbeda dibandingkan dengan yang sama sekali tidak pernah tahu
bahasa krama. Hal itu jelas membawa kepribadian yang baik bagi mereka dalam
bergaul saat menginjak usia dewasa. Remaja yang biasa berbahasa krama akan
lebih mudah bergaul dengan siapapun, dengan teman sebaya maupun dengan orang
yang usianya lebih tua darinya.
Namun agaknya bahasa
krama ini sudah banyak dilupakan oleh generasi muda sekarang. Meskipun sejak kecil
sudah diajari bahasa krama jawa, ketika dewasa biasanya tergerus oleh zaman
yang serba modern seperti sekarang ini. Anak muda kini semakin lebih suka
mempelajari bahasa asing dari pada bahasa Krama Jawa, bahasa yang sangat sopan
bagi masyarakat jawa pada khususnya. Bagaimanapun juga bahasa krama jawa tetap
harus dipertahankan untuk menjaga kemajemukan masyarakat di negeri tercinta
ini. Caranya dengan tradisi turun temurun, orang tua mengajari anaknya dan
seterusnya. Lingkungan yang paling berpengaruh pada saat anak masih kecil
adalah keluarga. Jika sedari kecil sudah dibiasakan dengan memakai bahasa krama
jawa, pasti akan terbawa juga sampai dewasa kelak. Dan secara tidak langsung
akan terjadi proses regenerasi berlanjut.
Bahasa Jawa adalah
bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian
Banten terutama di kabupaten Serang dan Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan
Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu dan
Cirebon, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia.
- Fonologi, Fonotatik, dan Dialek-dialek Bahasa
Jawa
v Fonologi
Dialek baku bahasa
Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama dari sekitar kota
Surakarta dan Yogyakarta memiliki fonem-fonem berikut:
Vokal: Depan Tengah Belakang i u e
Y o ([) (T) a
Konsonan: Labial Dental Alveolar
Retrofleks Palatal Velar Glotal Eksplosiva p b t d ˆ V tƒ d’ k g ” Frikatif s
(‚) h Likuida & semivokal w l r j Sengau m n (s) r K
Perhatian: Fonem-fonem antara tanda
kurung merupakan alofon.
Penjelasan Vokal
Tekanan kata (stress)
direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali apabila sukukata
memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh
pada sukukata terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila
sebuah kata sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata tetap mengikuti tekanan
kata kata dasar.
Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan
sebagai [j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].
Semua vokal kecuali /Y/, memiliki
alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup dilafazkan sebagai [a], namun pada
posisi terbuka sebagai [T].
Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan
sebagai [l'TrT], tetapi /larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]
Fonem /i/ pada posisi terbuka
dilafazkan sebagai [i] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip
[e].
Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai
[p'arci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai [k'arcel].
Fonem /u/ pada posisi terbuka
dilafazkan sebagai [u] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip
[o].
Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan
sebagai [w'ulu] , tetapi /ˆuyul/ (tuyul) kurang lebih dilafazkan sebagai
[ˆ'uyol].
Fonem /e/ pada posisi terbuka
dilafazkan sebagai [e] namun pada posisi tertutup sebagai [[]. Contoh: /lele/
dilafazkan
sebagai [l'ele] , tetapi /bebek/
dilafazkan sebagai [b'[b[”].
Fonem /o/ pada posisi terbuka
dilafazkan sebagai [o] namun pada posisi tertutup sebagai [T].
Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai
[l'oro] , tetapi /boloK/ dilafazkan sebagai [b'TlTK].
Penjelasan Konsonan Fonem /k/
memiliki sebuah alofon. Pada posisi terakhir, dilafazkan sebagai [”]. Sedangkan
pada posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].
Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada
posisi awal atau tengah apabila berada di depan fonem eksplosiva palatal atau
retrofleks, maka fonem sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem homorgan.
Kemudian apabila fonem /n/mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [s] (fonem
sengau retrofleks).
Contoh: /panjaK/ dilafazkan sebagai
[p'arjaK], lalu /anVap/ dilafazkan sebagai [”'asVap]. Kata /warna/ dilafazkan
sebagai [w'arsT].
Fonem /s/ memiliki satu alofon.
Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau berada di depan fonem eksplosiva
retrofleks, maka akan direalisasikan sebagai [‚].
Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai
[w'ar‚T], lalu /esˆi/ dilafazkan sebagai [”'e‚ˆi].
v Fonotatik
Dalam bahasa Jawa baku,
sebuah sukukata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.
Artinya ialah Sebagai berikut:
- (n) adalah fonem sengau homorgan.
- K1 adalah konsonan eksplosiva ata
likuida.
- (l) adalah likuida yaitu /r/ atau
/l/, namun hanya bisa muncul kalau K1 berbentuk
eksplosiva.
- V adalah semua vokal. Tetapi
apabila K2 tidak ada maka fonem /Y/ tidak bisa berada pada posisi ini.
- K2 adalah semua konsonan kecuali
eksplosiva palatal dan retrofleks; /c/, /j/, /ˆ/, dan /V/.
Contoh:
-
a
-
an
-
pan
-
prang
-
njlen
v Dialek-Dialek Bahasa
Jawa
Bahasa Jawa pada dasarnya terbagi atas
dua klasifikasi dialek, yakni :
-
Dialek daerah, dan
-
Dialek sosial
Karena bahasa
ini terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia
maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun Austronesia. Sedangkan dialek daerah
ini didasarkan pada wilayah, karakter dan budaya setempat. Perbedaan antara
dialek satu dengan dialek lainnya bisa antara 0-70%. Untuk klasifikasi
berdasarkan dialek daerah, pengelompokannya mengacu kepada pendapat E.M.
Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya : "A Critical Survey of Studies on the
Languages of Java and Madura", The Hague: Martinus Nijhoff[1].
ü Kelompok
Bahasa Jawa Bagian Barat
-
Dialek Banten
-
Dialek Cirebon
-
Dialek Tegal
-
Dialek Banyumasan
-
Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Kelompok pertama di atas sering
disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.
ü Kelompok
Bahasa Jawa Bagian Tengah :
-
Dialek Pekalongan
-
Dialek Kedu
-
Dialek Bagelen
-
Dialek Semarang
-
Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
-
Dialek Blora
-
Dialek Surakarta
-
Dialek Yogyakarta
-
Dialek Madiun
Kelompok kedua di atas sering
disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta.
ü Kelompok
Bahasa Jawa Bagian Timur :
-
Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
-
Dialek Surabaya
-
Dialek Malang
-
Dialek Jombang
-
Dialek Tengger
-
Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok
ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.
ü Dialek
sosial dalam Bahasa Jawa berbentuk sebagai berikut :
-
Ngoko
-
Ngoko andhap
-
Madhya
-
Madhyantara
-
Kromo
-
Kromo Inggil
- Fungsi
Bahasa Jawa dalam Masyarakat
Fungsi
bahasa Jawa dalam masyarakat :
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3. Alat untuk mengidentifikasi diri.
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3. Alat untuk mengidentifikasi diri.
4.Sebagai alat untuk
mengidentifikasikan dan- mengklasifikasikan benda-benda di lingkungan sekitar
manusia .
- Macam-macam Bahasa Jawa Menurut Tata Kramanya
Kalau
menurut tata kramanya atau unggah-ungguhnya,
bahasa Jawa itu dibagi menjadi
3 macam, yaitu:
1.Bahasa Jawa Ngoko.
1.Bahasa Jawa Ngoko.
Yaitu
bahasa yang biasa dipakai
sehari hari untuk berbicara kepada teman dan sebagainya.
Boso Ngoko dibagi lagi menjadi 2 yaitu:
Boso Ngoko dibagi lagi menjadi 2 yaitu:
- Ngoko
Lugu.
- Ngoko Andhap.
2. Bahasa Jawa Madya.
Dibagi menjadi 3 macam yaitu:
- Madya
ngoko.
- Madyantara.
- Madya
krama.
3. Bahasa Jawa Krama.
Dibagi menjadi 6 macam yaitu:
- Krama
Lugu.
- Mudha
Krama.
- Wredha
krama.
- Krama
inggil
- Krama
desa.
- Basa
Kedathon.
Banyak juga kan pecahan dari bahasa jawa ini.
Agar tidak bingung, kebanyakan orang jawa membagi sendiri bahasa Jawa menjadi 3 macam saja yang umum, yaitu :
- Bahasa Jawa Ngoko.
- Bahasa Jawa Krama.
- Bahasa Jawa Krama Inggil.
Bahasa Jawa Ngoko.
Bahasa ini digunakan bagi siapa saja, yaitu:
1. Anak dengan anak.
2. Pertemanan (yang sudah karib).
3. Orang yang lebih tua kepada yang lebih muda.
Contohnya adalah:
Kowe ojo mangan dhisik.
Sliramu ojo mangan dhisik.
Bahasa Jawa Krama.
Digunakanan oleh siapa saja, yaitu:
1. Murid kepada guru.
2. Orang muda kepada orang yang lebih tua.
3. Anak kepada orang tua.
4. Pegawai kepada pimpinannya.
Contoh kalimatnya adalah:
Punopo Eyang kakung sampun dhahar?
Kulo tumut bapak datheng sabin.
Lastri kolo wau tumbas sandal.
Bahasa ini digunakan bagi siapa saja, yaitu:
1. Anak dengan anak.
2. Pertemanan (yang sudah karib).
3. Orang yang lebih tua kepada yang lebih muda.
Contohnya adalah:
Kowe ojo mangan dhisik.
Sliramu ojo mangan dhisik.
Bahasa Jawa Krama.
Digunakanan oleh siapa saja, yaitu:
1. Murid kepada guru.
2. Orang muda kepada orang yang lebih tua.
3. Anak kepada orang tua.
4. Pegawai kepada pimpinannya.
Contoh kalimatnya adalah:
Punopo Eyang kakung sampun dhahar?
Kulo tumut bapak datheng sabin.
Lastri kolo wau tumbas sandal.
Bahasa Krama Inggil.
Ini merupakan bahasa tingkat paling tinggi di boso Jowo. Unggah-ungguh yang sangat disegani oelh orang jawa. Siapa saja yang berbicara dengan bahasa krama inggil ini, tiada kata kasar sama sekali meskipun dalam keadaan marah.
Krama inggil ini merupakan bahasa yang lebih halus dan ngajeni kalau dalam bahasa Jawanya. Mengagungkan orang yang diajak bicara.
Bahasa Krama Inggil biasa disebut juga dengan Kromo Alus (Krama Halus).
Contoh kalimatnya adalah:
Bapak tindak dhateng Jakarta dinten Minggu.
Pak Bagio nembe mucalkelas sekawan.
Pak Badrun mundhut sepatu.
Eyang kakung nembe siram.
Buku kulo dipun asto Bu Guru.
Ini merupakan bahasa tingkat paling tinggi di boso Jowo. Unggah-ungguh yang sangat disegani oelh orang jawa. Siapa saja yang berbicara dengan bahasa krama inggil ini, tiada kata kasar sama sekali meskipun dalam keadaan marah.
Krama inggil ini merupakan bahasa yang lebih halus dan ngajeni kalau dalam bahasa Jawanya. Mengagungkan orang yang diajak bicara.
Bahasa Krama Inggil biasa disebut juga dengan Kromo Alus (Krama Halus).
Contoh kalimatnya adalah:
Bapak tindak dhateng Jakarta dinten Minggu.
Pak Bagio nembe mucalkelas sekawan.
Pak Badrun mundhut sepatu.
Eyang kakung nembe siram.
Buku kulo dipun asto Bu Guru.
Itulah kawruh bahasa jawa yang pantas untuk diketahui oleh orang jawa sendiri khususnya.
Kalau ada orang Jawa yang berbicara ngawur atau tidak sopan, maka banyak yang bilang kalau dia "Tidak Tahu Unggah-Ungguh"
Unggah-ungguh = Tata Krama.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Kesimpulan dari
pembahasan dalam karya
ilmiah ini, kesimpulan penyusun
adalah sebagai berikut :
- Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah yang
menjadikan negeri kita ini semakin beragam.
- Bahasa Jawa terbentuk dari
gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia maupun Melayu,
meskipun tergolong rumpun Austronesia.
- Bahasa
Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan
antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh.
Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa,
dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di
masyarakat.
- Saran
Indonesia adalah
Negara yang majemuk, berbagai suku, ras, budaya, adat, agama dan bahasa, ada di
dalamnya. Bahasa, adalah salah satunya yang menjadikan negeri kita ini semakin
beragam. Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah di
Indonesia. Sebagai bangsa Indonesia kita wajib menjaga dan melestarikan
bahasa-bahasa daerah, misalnya dengan menggunakan
bahasa jawa di lingkungan rumah, agar
bahasa Jawa tidak terlupakan.
Daftar Pustaka :
ü Purwadi , Mahmudi , . (2005). Tata
bahasa Jawa. Cet. 1. Yogyakarta: Media Abadi
ü kejawenwetan.blogspot.com/2010/01/macam-bahasa-jawa.html
ü kumpulan-artikel-menarik.blogspot.com/2008/06/sejarah-bahasa-jawa.html
ü coretanarina.wordpress.com/20011/03/09/eksistensi-bahasa-jawa-dalam-pergaulan-anak-muda/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar